Pages

Saturday, 3 December 2011

HAK HAK ISTERI YANG HARUS DITUNAIKAN SUAMI

Allah SWT berfirman, ”Dan diantara, tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa-rasa kasih dan sayang.” (Ar-Ruum :21).

 
Kasih sayang yang terdapat diantara pasangan suami-isteri hampir tidak didapati di antara dua orang yang bersahabat. Allah SWT menyukai pasangan suami-isteri dengan rasa cinta dan kasih sayang yang berkesinambungan, karena itu Dia telah mensyari’atkan kepada mereka sejumlah hak dan kewajiban yang kalau dilaksanakan dengan baik akan mampu memelihara sikap mawaddah dari kepunahan dan penelantaran. Allah SWT  berfirman, ”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah : 228).


Penggalan ayat diatas walaupun singkat tetapi mengandung ma’na yang tidak mungkin dijabarkan secara terperinci dengan tuntas melainkan memerlukan halaman yang amat tebal. Ia menjadi kaidah kuliyah (kaidah yang bersifat umum), yang menyatakan, bahwa kaum wanita sama dengan kaum laki-laki dalam segala hak, kecuali satu yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, ”Akan tetapi para suami, mempunyai tingkatan satu kelebihan daripada isterinya.” (Al-Baqarah :228).


Kita harus berusaha mengerti dengan baik hak-hak para isteri dan kewajiban-kewajiban mereka yang tinggal di tengah-tengah masyarakat, wajib memahami cara mereka bergaul dan berinteraksi dengan para suaminya di tengah-tengah keluarga suaminya dan harus juga mengetahui kebiasaan masyarakat, yaitu bahwa mereka lambat laun akan mengikuti agama, aqidah, sopan santun dan tradisi suaminya. Jadi, ini semuanya sebagai mizan (neraca) bagi seorang suami yang dengannya ia bisa mengukur sajauh mana ketulusan muamalah dirinya kepada isterinya dalam segala aspek kehidupan dan berbagai macam keadaan. Oleh sebab itu maka apabila ia bersikukuh menuntut isterinya agar melaksanakan tugas-tugas keseharian, maka hendaklah ia memikul kewajiban yang sama yang harus ditunaikan untuk isterinya dengan sempurna. Oleh sebab itu Ibnu Abbas r.a.  pernah menyatakan, ”Sesungguhnya aku benar-benar akan berhias untuk isteriku sebagaimana berdandan untukku.” (Tafsir Ibnu Jarir II:453).


Jadi seorang Muslim yang haq sejati patut memahami dengan benar hak-hak isterinya yang menjadi tanggung jawab dirinya sebagaimana yang Allah SWT tegaskan, ”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang denga kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah : 228).

Dan sebagaimana yang disabdakan Nabi saw., ”Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh isteri kalian, dan isteri kalian pun memiliki hak yang wajib kalian tunaikan.”(Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1501, Tirmidzi II:315 no:1173, dan Ibnu Majah I:594 no:1851).


Seorang Muslim wa’i (yang sadar) senantiasa berusaha keras menunaikan hak-hak isterinya tanpa memperhatikan apakah hak dirinya yang harus ditunaikan oleh isterinya sudah terpenuhi secara sempurna atau belum, karena ia sangat menginginkan untuk mengembangsuburkan mawaddah warahmah antara mereka berdua, dia juga berusaha dengan gigih menutup peluang bagi syaitan yang selalu hendak menyuruh perselisihan antara mereka berdua.
Dan (karena) termasuk nasihat dalam agama, di sini penulis akan mengemukakan hak-hak isteri yang harus ditunaikan oleh suami kemudian hak-hak suami yang wajib dilaksanakan oleh isteri agar para suami dapat mengambil pelajaran sehingga mereka saling menasihati dalam hak dan saling berwasiat dalam/dengan kesabaran.
(Rasulullah saw. bersabda), “Sesungguhnya para isteri kalian mempunyai hak yang wajib kalian tunaikan.”

a.       Hendaknya suami bergaul dengan isteri dengan cara yang ma’ruf.
Allah SWT berfirman, ”Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf.” (An-Nisaa’:19)
Yaitu dengan memberi makan kepada isterinya bila ia makan, memberi pakaian kepada isterinya bila ia mengenakan pakaian dan mendidiknya dengan apa-apa yang Allah perintahkan untuk mendidiknya bila ia harus khawatir isterinya melenceng dari tuntunan dan bimbingan Allah Ta’ala, dengan cara menasihatinya dengan mau’izah hasanah (peringatan yang baik), tanpa mencela, mencaci dan menjelekkannya. Bila dia bisa ta’at kembali (maka cukuplah) dan jika tidak maka pisah ranjanglah, mudah-mudahan dia ta’at kembali. Jika tidak, maka pukullah selain wajahnya dengan pukulan yang tidak membahayakan. Berdasarkan firman Allah SWT,”Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka, nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisaa’).

Dan, sabda Nabi saw ketika beliau ditanya, ”Apa hak seorang isteri yang harus ditunaikan oleh suaminya?” Maka jawab Beliau, ”Engkau memberi dia makan bila engkau makan, engkau memberi dia pakaian bila engkau mengenakan pakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, mencelanya dan jangan (pula) berpisah ranjang dengannya, kecuali masih di dalam rumah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1500, ’Aunul Ma’bud VI:180 no:2128 dan Ibnu Majah I:593 no:1890).

Salah satu indikator kesempurnaan akhlak dan berkembangnya iman adalah seorang amat sangat lembut, dan sayang; kepada keluarganya, sebagaimana yang disebutkan Nabi saw..
Nabi saw. bersabda, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya di antara mereka dan orang yang terbaik di antara kalian ialah yang terbaik kepada keluarganya.” (Hasan Shahih; Shahih Tirmidzi no:928 dan Tirmidzi II:315 no:1172).

Sikap memuliakan dan menghoramti isteri merupakan pertanda kepribadian yang sempurna, dan merendahkan isteri merupakan indikator pribadi yang hina, dan tercela. Di antara bentuk memuliakan isteri ialah bersikap lemah lembut dan bercanda dengannya demi meneladani Rasulullah saw.. Beliau bersikap lemah lembut kepada Aisyah ra dan berlomba dengannya sampai-sampai Aisyah mengatakan, ”Rasulullah saw mengajakku berlomba (lari), lalu saya mengalahkan beliau. Beberapa waktu kemudian ketika aku gemuk, lalu Beliau mengajakku (lagi) berlomba (lari), lalu Beliau mengalahkanku. Kemudian Beliau bersabda, ”(Kemenanganku) ini (kekalahanku) yang lalu,” (Shahih: Adabuz Zifas hal.200, dan ’Aunul Ma’bud VII:243 no:2561).

Sungguh Nabi saw. menganggap hiburan sebagai sesuatu yang bathil kecuali hiburan dengan keluarga. Rasulullah saw. bersabda, ”Segala sesuatu yang dijadikan bahan hiburan oleh anak cucu Adam adalah  bathil kecuali tiga hal: (pertama) melepaskan anak dengan keluarga, (kedua) melatih kudanya, dan (ketiga) bersenda gurau dengan keluarga; karena ketiga hal itu termasuk yang haq.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:4534, Nasa’i dalam asy-Syarah II: 74, ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir II: 89 no.1 dan Abu Naim dalam Ahadits Abil Qasim al-Asham XVIII:17).


b.  Di antara hak yang harus ditunaikan oleh suami, ialah hendaknya ia  sabar dan tabah dalam menyikapi perbuatan isterinya, yang tidak berkenan di hatinya dan hendaknya ia memaafkan kekeliruan-kekeliruannya. Nabi saw. bersabda, ”Seorang mungkin tidak boleh membenci isterinya jika ia membenci sebagian perilakunya, niscaya ia menyenangi sebagian yang lain.”(Shahih: Muslim II:1091 no:469 dan Adabuz Zifas hal.199).

Rasulullah saw. bersabda, ”Terimalah wasiatku yaitu agar berbuat baik kepada wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Kalau engkau memaksa meluruskannya, berarti engkau mematahkannya, dan jika engkau biarkan maka ia akan tetap bengkok, karena itu berwasiatlah yang baik kepada kaum wanita.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:253 no:5186 Muslim II:1091 no:060 dan 1468).

Sebagian ulama salaf berkata: “Ketahuilah bahwa tidak termasuk akhlak yang baik kepada isteri sekedar menghilangkan gangguan yang menimpa dia, bahkan juga harus siap menanggung hal-hal yang menyakitkan yang datang darinya serta wajib bersikap lemah lembut dan bijak terhadap sikap gegabah dan amarahnya demi mengikuti Rasulullah saw di mana para isteri beliau menyulut emosinya dan pernah pula seorang di antara mereka tidak menyapa beliau sehari semalam.” (Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 78-79).


c.       Di antara hak isteri yang harus ditunaikan oleh suaminya ialah sang suami harus memeliharanya dan menjaganya dari segala sesuatu yang bisa mengkoyak-koyak kemuliaannya dan yang bisa mencemarkan harga dirinya serta yang dapat menghancurkan kehormatannya. Dia harus tegas melarang isterinya dari membuka wajah dan tabarruj (berdandan) untuk memperlihatkan kecantikannya (kepada yang lain) dan dia harus mencegah isterinya agar tidak sampai melakukan ikhtilath (berbaur) dengan selain mahramnya dari kalangan laki-laki.Sebagaimana dia juga harus melindunginya, dan memeliharanya secara total dan mengayominya secara sempurna. Dia tidak memberi peluang kepadanya untuk merusak perangai atau agamanya, dan tidak juga memberi kesempatan kepadanya untuk menyimpang dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya untuk berbuat maksiat, karena dia selama pengayom dan yang berperan sebagai penanggung jawabnya dia memikul beban harus memelihara dan menjaganya. Allah SWT berfirman, ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisaa’:34).

Dan Nabi saw. Bersabda, ”Dan suami itu menjadi pemimpin di tengah keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban perihal mereka yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathur Bari II:380 no:893 dan Muslim III:1459 no:1829).

d.      Diantara hak isteri yang harus dilaksanakan oleh suami ialah sang suami harus mengajarkan masalah-masalah agamanya yang amat mendasar dan sangat dibutuhkan atau dia mengizinkannya untuk hadir di majlis ilmu; karena ia selaku isteri amat butuh untuk meningkatkan kualitas pengalaman agamanya dan untuk membersihkan jiwanya yang tidak kalah pentingnya daripada kebutuhan akan sandang serta pangan dan papan yang harus dia sediakan untuk isterinya. Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim:6).

Isteri adalah bagian dari keluarga, dan kiat menyelamatkannya dari jilatan api neraka hanyalah dengan iman yang tulus dan amal shalih. Amal shalih adalah amal yang dipotong oleh ilmu dan pengetahuan sehingga isteri mampu melaksanakan segala amal (dengan benar dan ikhlas) sesuai dengan tuntunan syar’i).


e.       Diantara hak isteri yang wajib dilaksanakan oleh suaminya ialah dia harus menyuruh sang isteri melaksanakan agama Allah dan memelihara shalat. Allah SWT berfirman, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu menegakkan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”(Thaha:132).

f.        Diantara hak isteri yang harus ditunaikan oleh suami ialah dia harus mengizinkan isterinya yang hendak keluar dari rumah bila memang sangat diperlukan, misalnya ia hendak pergi menunaikan shalat jama’ah di masjid, atau hendak silaturrahmi ke rumah keluarga, kerabat, atau tetangga dekatnya dengan syarat ia tetap mengenakan jilbab, dan dia harus tegas mencegah isterinya dari tabarruj (berdandan menor) ketika keluar rumah dan dari menampakkan wajah atau bagian tubuhnya yang lain yang tidak boleh dilihat, sebagaimana dia harus tegas mencegahnya dari memakai wangi-wangian perfume dan semisalnya dan dia wajib memberi peringatan keras kepadanya supaya jangan sampai ia ikhtilath (berbaur) dengan laki-laki (yang bukan mahramnya) dan jabat tangan dengan mereka, sebagaimana dia harus memberi peringatan keras kepadanya agar tidak menonton TV dan supaya tidak mendengar lagu-lagu.

g.       Diantara hak isteri yang mesti dilaksanakan suaminya adalah dia tidak boleh sekali-kali menyebarkan rahasianya dan tidak perlu menyampaikan aibnya kepada siapapun, karena suami adalah sebagai orang yang dipercayakan secara penuh terhadapnya dan dia dituntut supaya membimbing dan melindunginya. Di antara sekian banyak rahasia yang amat sangat bersifat pribadi ialah membuka, kartu mengenai ihwal hubungan di atas ranjang. Oleh sebab itu Nabi saw memberi peringatan keras agar kita tidak membeberkannya kepada orang siapapun:

Dari Asma’ binti Yazid ra bahwa ia pernah di sisi Rasulullah saw. sedangkan para sabahat laki-laki dan perempuan pada duduk-duduk, lalu beliau bersabda, ”Barangkali ada, seorang laki-laki (diantara kalian), yang menceritakan (kepada orang lain) apa yang dialaminya dengan isterinya, dan mungkin ada seorang wanita yang membeberkan (kepada orang lain) apa yang dialaminya dengan suaminya?” Maka para sabahat diam seribu kata. Kemudian saya (Asma’) menjawab, ”Betul, ya Rasulullah! Kaum wanita benar-benar telah melakukannya dan kaum laki-lakipun benar-benar telah melaksanakannya.” Maka sabda Beliau, ”Kalau begitu janganlah kamu sekalian melakukannya (lagi); karena sesungguhnya perbuatan itu hanyalah seperti syaitan laki-laki yang bertemu dengan syaitan perempuan di tengah jalan lalu bersetubuh, sementara orang-orang pada menyaksikannya.” (Shahih: Adabuz Zifaf hal.72).


h.   Di antara sekian banyak hak isteri yang wajib ditunaikan oleh suaminya adalah dia harus bermusyawarah dengan isterinya dalam beberapa urusan terutama persoalan-persoalan yang secara khusus menyangkut mereka berdua dan anak-anaknya demi mengikuti (contoh) Rasulullah saw, di mana beliau biasa berembuk dengan segenap isterinya lalu melaksanakan saran dan masukan yang baik dari mereka sebagai misal pada waktu perang Hudaibiyah, setelah selesai menulis isi perjanjian, (terjadilah kisah sebagai berikut, pent.). Kemudian Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya, ”Bangunlah lalu sembelihlah (binatang hadyu) kemudian cuku rambut kalian!” Sungguh tak seorangpun di antara mereka bangun hingga Beliau mengucapkan perintah tersebut tiga kali. Tatkala tak seorangpun di antara para sahabat yang beranjak dari tempat duduknya, maka Rasulullah saw. masuk menemui Ummu Salamah ra, kemudian Beliau menyampaikan sikap para sabahatnya itu kepada Ummu Salamah maka ia berkata, ”Ya Nabiyullah (wahai nabi Allah) apakah engkau menyukai sikap itu? Keluarlah namun janganlah engkau berbicara dengan seorangpun di antara mereka hingga engkau menyembelih binatang hadyu dan memanggil tukang cukurmu lalu mencukurmu dan menyembelih binatang hadyu.

” Maka kemudian Rasulullah saw. keluar menemui para sahabat, dan tidak mengajak bicara dengan seorangpun di antara mereka sebelum Beliau melaksanakan saran itu. Kemudian tatkala para sabahat melihat beliau mencukur dan memotong hadyu, mereka pada bangun, lalu menyembelih binatang hadyu dan sebagian di antara mereka menggunting rambut sebagian yang lain hingga (seolah-olah) hampir saja sebagian di antara mereka membunuh sebagian yang lain karena: jengkel.” (Shahih: Fathul Bari V:239 no:2731 danm 2732).

Begitulah Allah SWT telah menjadikan kebaikan yang besar bagi Rasulullah saw. dalam melaksanakan saran dan masukan dari Ummu Salamah. Realita ini berbeda jauh dengan kebiasaan buruk yang terus terjadi yang mencegah kita dari mengajak kaum wanita musyawarah dan mewanti-wanti kita supaya berembuk dengan mereka. Sehingga terbentuk semacam ungkapan, ”Musyawarah dengan seorang wanita, bila ia memberi manfaat, akan mengakibatkan kehancuran selama setahun; dan bila tidak memberi manfaat maka menyebabkan kehancuran sepanjang umur.”

i.         Di antara isteri yang wajib dilaksanakan oleh suami ialah dia harus segera pulang boleh begadang isterinya seusai shalat isya’ di masjid. Dia tidak boleh begadang di luar rumah sampai akhir malam, sebab yang demikian ini dapat menyebabkan sang isteri tidak bisa tidur malam dan membuatnya  gelisah. Bila tidak, hal itu akan menimbulkan rasa was-was dan bimbang apalagi jika sering begadang hingga larut malam di luar rumah. Bahkan termasuk juga hak isteri yang mesti dilaksanakan oleh suaminya yaitu dia tidak boleh begadang di waktu malam di dalam rumah, jauh dari isterinya walaupun dia mengerjakan shalat malam, hingga dia menunaikan hak isterinya. Oleh sebab itu, Nabi saw menegur Abdullah bin Amr yang begadang dan menjauhi isterinya dan bersabda kepada, ”Sesungguhnya isterimua mempunyai hak yang mesti kamu tunaikan!” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 217-218 no:1875, Muslim II:813 no:182/1159 dan Nasa’i IV:211).


j.        Di antara sekian banyak hak isteri yang harus dilaksanakan oleh sang suami adalah dia berbuat harus adil dan proporsional terhadap isteri pertama dan kedua, bila dia berpoligami. Dia harus bersikap adil dan proporsional kepada mereka berdua dalam pembagian makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan giliran. Tidak boleh dia bersikap pilih kasih, atau curang dan bertindak lalim dalam masalah-masalah ini, karena Allah swt telah mengharamkan tindakan sewenang-wenang ini.

Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa memiliki dua isteri, lalu dia mengutamakan salah satu dari keduanya. Tanpa memperhatikan yang lain, niscaya dia akan datang pada hari kiamat (kelak) sedangkan separoh anggota tubuhnya miring.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2017, Shahih Ibnu Majah no:1603, ”Aunul Ma’bud VI:171 no:2119, Tirmidzi II:304 no:1150, Nasa’i VII:63, dan Ibnu Majah I:633 no:1969, dengan redaksi yang mirip).


Saudara-saudara sesama Muslim, ini adalah hak-hak isteri kita yang harus  anda tunaikan, maka anda wajib berusaha dengan sungguh-sungguh untuk merealisasikan hak-hak ini bagi mereka dan tidak boleh meremehkannya, karena kalau anda berhasil menunaikan hak-hak itu dengan serius maka hal itu termasuk faktor-faktor yang membuat kita merasa bahagia hidup di tengah-tengah rumah tangga, dan terkategori sebab yang menjadikan bahtera rumah tangga bergerak secara berkesinambungan, selamat dan terbebas dari aneka ragam problem yang membuat anda hidup gelisah, dan merasa hilang ketenangan kedamaian, mawaddah dan rahmah.

Dan penulis mengingatkan kepada para isteri akan pentingnya sikap menundukkan pandangan dari melihat (setiap) kekurangan para suami mereka (dalam menunaikan) hak-hak mereka, dan hendaknya mereka menghadapi setiap kekurangan para suami tersebut dengan tetap bersungguh-sungguh dalam berkhidmah (berbakti) kepada mereka sehingga dengan demikian diharapkan hanay zaujiyah (kehidupan rumah tangga) yang bahagia dan sejahtera akan terus berkesinambungan.



Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 581 -- 594. 

No comments:

Post a Comment