Pages

Sunday, 8 January 2017

FORMULA KEBAHAGIAAN RUMAHTANGGA

“Assalamu’alaikum…!”
Ucapnya lirih Abdurrahman saat masuk rumah.

Tak ada orang yang menjawab, dia tahu isteri dan anak-anaknya pasti sudah tidur, jam pun sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam.

"Biarlah malaikat yang menjawab salamku,”
Gumamnya dalam hati.

Diletakkanlah beg dan kunci-kunci diatas meja.

Setelah itu, barulah Abdurrahman  menuju kamar mandi sekalian berwudhu kemudian berganti pakaian.

Semua tertidur nyenyak, tak ada satu-pun yang terbangun.

Segera dia  beranjak menuju bilik tidur.
Perlahan-lahan dibukanya pintu bilik.
Dia tidak ingin menggangu istrinya yang sedang lena tidur.

Benar saja isterinya tidak terbangun, tidak menyedari kehadiran suaminya.

Kemudian Abdurrahman duduk di pinggir tempat tidurnya.

Dipandanginya dalam-dalam wajah Latifah, isterinya.

Abdurrahman teringat perkataan almarhum ayahnya, dulu sebelum dia menikah.

Ayahnya berpesan :
"Jika kamu sudah menikah nanti:

•Jangan berharap kamu punya isteri yang sama dengan keinginanmu.
Kerana kamu pun juga tidak sama sama dengan keinginannya.
•Jangan pula berharap mempunyai isteri yang mempunyai sifat sama seperti dirimu. Kerana suami isteri adalah dua orang yang berbeza. Dia bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi.

Dan..
°Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa meluat, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, Maka..
Lihatlah ketika isterimu tidur.."

“Kenapa waktu dia tidur ayah?”
Tanyanya kala itu.

Ayahnya menjawab :
“Nanti kamu akan tahu sendiri"

Waktu itu, dia tidak sepenuhnya memahami maksud ayahnya, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut, kerana ayahnya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

Malam itu, Abdurrahman  mulai memahaminya. Malam itu, dia menatap wajah isterinya dalam-dalam.

Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin memdalam perasaan di dadanya.

Wajah istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima.

Raut muka tanpa dibuat-buat, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan.

Pancaran tulus dari kalbu.
Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan.

Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak dapat ia gambarkan dengan kata-kata.

Dalam batin, dia  bergumam,
“Wahai isteriku, engkau dulu seorang gadis:
•Yang bebas beraktiviti,
•Banyak hal yang dapat kau perbuat dengan kemampuanmu. Lalu aku menjadikanmu seorang istri.
•Menambahkan kewajipan yang tidak sedikit.
•Memberikanmu banyak batasan,
•Mengaturmu dengan banyak aturan.

Dan aku pula..
•Yang menjadikanmu seorang ibu. •Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan.
•Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.

Wahai istriku..
Engkau yang dulu melenggang kemanapun tanpa beban, kini aku memberikan beban di tanganmu, dan dibahumu..
•Untuk mengurus keperluanku,
•Untuk mendidik anak-anakku, juga
•Memelihara keselesaan rumahku.

Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku.

Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku.

Kau tanggalkan segala kegiatanmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku.

Kau buang egomu untuk mentaatiku.

Kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.

Wahai istriku..
Di kala susah, kau setia mendampingiku.

Ketika sulit, kau tegar di sampingku.

Saat sedih, kau pelipur laraku.

Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku.

Jika aku gundah, kau penyejuk hatiku.

Kala aku bimbang, kau penguat tekadku.

Bila aku lupa, kau yang mengingatkanku.

Ketika aku salah, kau yang menasihatiku.

Wahai isteriku..
Telah sekian lama engkau mendampingiku.

Kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki.

Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu..?!

Dengan alasan apa aku marah padamu..?!

Andai kau punya kesalahan atau kekurangan.
Semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitiskan air mata.

Akulah yang harus membimbingmu.
Aku adalah imammu.

Jika kau melakukan kesalahan.
Akulah yang harus dipersalahkan kerana tidak mampu mengarahkanmu.

Jika ada kekurangan pada dirimu.
Itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah.

Kerana kau insan, bukan malaikat.

Maafkan aku isteriku..
Kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan.

Mari kita bersama-sama membawa bahtera rumah tangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keredhaan Allah azza wa jalla.

Segala puji hanya untuk Allah azza wa jalla yang telah memberikanmu sebagai jodoh untukku.”

Tanpa terasa air matanya menitis deras di kedua pipinya.

Dadanya terasa sesak menahan esak tangis.

Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan.

Tak lama kemudian dia pun terlelap.

"Teeng..teeng.."

Jam dinding di ruang tengah berbunyi dua kali.

Latifah, istri Abdurrahman terperanjat sambil terucap :
“Astaghfirulloh, sudah jam dua..!"

Dilihatnya sang suami terbaring di sampingnya.

Perlahan-lahan dia duduk, sambil berdoa memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.

“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatanganmu.

Hari ini aku benar-benar letih, sampai tidak  mendengar apa-apa.

Sudah makan apa belum ya dia..?!"
Gumamnya dalam hati.

Ada niat mahu membangunkan, tapi tak tergamak.
Akhirnya dia cuma pandangi saja wajah suaminya.

Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya.

Perasaan yang campur aduk, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Hanya hatinya yang bicara :
"Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku.

Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapa dari anak-anakku.

Begitu besar harapan kusandarkan padamu.

Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di bahumu.

*Wahai suamiku..
*•Ketika aku sendirian..
*Kau datang menghampiriku.
*•Saat aku lemah..
*Kau hulurkan tanganmu menuntunku.
*•Dalam duka..
*Kau sediakan dadamu untuk merangkulku.
*•Dengan segala kemampuanmu..
*Kau selalu ingin melindungiku.

*Wahai suamiku..
*•Tak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku.
*•Tak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu.

Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal, tidak menyurutkan langkahmu.

Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.

Lalu..
Atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu.

Dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu?

Seberapa pun harta yang kau berikan,
itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu.

Walau kau belum sepandai da’i dalam menasihatiku,
Tapi..
Kesungguhan & tekadmu beramal soleh, mengajakku dan anak-anak istiqamah di jalan Allah..
Membanggakanku dan membahagiakanku.

Maafkan aku wahai suamiku..
Akupun akan memaafkan kesalahanmu.

Alhamdulillah.. segala puji hanya milik Allah.
Yang telah mengirimmu menjadi imamku.

Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah .

Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput redhaNya..”

ربنا هب لنا من أزواجنا وذريتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما

"Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata 'ayun waj'alna lil muttaqiina imaama".........             

Mudah-mudahan Allah jadikan keluarga Kita,keluarga yang membawa kita menuju Allah,bukan justru menjauhkan kita dari redha  dan cinta-Nya Allah. Amiin..

No comments:

Post a Comment